IG

Header Ads
#

Menakar Bobot Pernyataan Cak Nun Merasa Hina ke Istana


Semar dalam dunia pewayangan adalah manusia setengah dewa penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Semar sendiri berasal dari kata tan samar, artinya tidak tertutupi oleh tabir. Terang trawaca cetha tur wela-wela sangat jelas tanpa terselubungi sesuatu. Semar adalah sosok yang nyata dan tidak nyata. Ada dalam tiada, tiada tetapi ada. Keberadaannya memang dimaksudkan untuk menjaga ketentraman di muka bumi (memayu hayuning bawana) dan ketentraman antar sesama umat manusia (memayu hayuning sasama). Sebagai titah  atau makhluk Semar mengemban amanat untuk ngawula (mengabdi) berupa dharma atau amalan baik kepada bendara alias juragan bin majikan, juga kepada bangsa dan negara. Ini dibuktikan ketika Jonggring Saloka kayangan para dewa bergejolak, maka Semar turun tangan lewat Semar Mbangun Kayangan (Semar membangun Kayangan). Begitu muncul ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem, maka Semar pun tergerak dalam Semar Gugat (Semar Menggugat), dan masih banyak lagi.

Saya melibatkan sosok semar ini karena cak nun juga sering  mengulasnya, yang menjadi perhatian di antara keduanya manakah yang salah satunya melakoni secara filosofi sebagian saja memerankan sosok semar dalam kehidupan yang nyata ?. Kemudian pertanyaan lagi, kalau salah satu sepertinya mengerti sosok semar mengapa bisa merasa terhina kalau mendatangi seorang pemimpinnya dalam hal ini Presiden.  Bukankah seorang Presiden atau pemimpin sebuah bangsa tidak ada perbedaannya apabila di sandingkan dengan seorang raja, mungkin cara penunjukan  atau pemilihannya aja yang berbeda.

Seorang raja pun banyak riwayat dan kehidupan intriknya di dalam istana demikian juga seorang presiden. Semua pemimpin sudah paham bahwa kekuasaan datang karena restu dari Allah SWA namun bagaimana dia bisa bertahta bisa saja diselimuti awan tentang kesalahannya dan yang timbul adalah kebenaran dan kebajikannya. Seorang raja lebih dominan perebutan kekuasaan karena konflik masalah internal di dalam silsilah keluarganya, sedangkan presiden memperebutkan kekuasaan melalui demokrasi rakyatnya. Keduanya adalah seorang pemimpin yang di pilih untuk memegang amanah untuk memikirkan tentang keberlangsungan rakyat dan negaranya. Kalau Allah ikut campur dalam mengaturnya lalu mengapa cak nun merasa terhina menemuinya??. 

Selama ini cak nun berusaha berpikir logika dalam memberikan dakwah tentang agama, lalu mengapa sekarang justru berpikir terbalik?, kalau meyakini bahwa seseorang bisa menjadi pemimpin rakyatnya karena kehendak dan restu Allah berarti kalau merasa terhina sama saja dengan menghina.....saya nggak mau nyebutin yang ini karena biar semua orang punya interprestasi sendiri. Jadi jangan hanya mengambil salah satu contoh karena negara yang membiayai rakyatnya. Raja pun dibiayai rakyatnya lewat upeti kalau sekarang pajak walau jaman dahulu dipercayai sebagai jelmaan Dewa. Jadi Semar pun kalau bertahta juga mesti di biayai rakyatnya nggak juga bisa ngambil duit dari langit kali...!!!

Saya mengagumi cak Nun awalnya,  namun mungkin saat ini lupa bahwa setiap manusia punya idealisme dan kepentingan yang terkadang bisa membelokkan logika dan ilmunya. Judul saya diatas sekedar menakar bobot pernyataan cak Nun bahwa saat kita berjalan berdakwah dengan syarat kepentingan agama, jangan membawa kepentingan dan logika serta ilmu yang lagi diperankannya keluar dalam area.

Bagaimana opini anda?



Posting Komentar

0 Komentar